Berita Detail

blog

Sejarah Raden Singaperbangsa Adipati Kertabumi IV dengan Cariu

Kecamatan Cariu dengan Raden Singaperbanngsa Adipati Kertabumi IV 

Dalem Karawang, yaitu Raden Singaperbangsa setelah dinobatkan sebagai Dalem Karawang dengan gelar ADIPATI KRTABUMI IV pada tanggal 14 September 1963 menugaskan menugaskan kepada Embah Raden Suryadipati untuk memperluas wilayahnya dengan membuka daerah yang ada diantara Tegal Kihiyang sampai ke Gunung Batu, dari Ciporong Tonjong sampai ke Ciomas Cihoe. Daerah yang disebut-sebut masih banyak hutan belantara, bahkan ada hutan yang banyak pohon Cariunya.

Hutan yang banyak pohon Cariu tersebut, selanjutnya dibuka menjadi kampung yang disebut dengan Kampung Cariu.
Embah Raden Suryadipati dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh ketiga anak buahnya, yaitu Embah Nur Kahfi, Embah Lajiah, dan Embah Radiem.
Embah Nur Kahfi : Rohani dan keagamaan (Dinul Islam);
Embah Lajiah : Pertanian; dan
Embah Radiem : Kesaktian (kedugalan).
Embah Raden Suryadipati dalam melaksanakan tugasnya membuat tempat tinggal di sebelah Utara hutan Cariu, dibarengi oleh ketiga anak buahnya. Tempat yang dibuka untuk membuat tempat tinggal Embah Raden Suryadipati kemudian disebut Babakanraden. Karena yang lebih dulu menempati wilayah tersebut adalah Embah Raden Suryadipati, maka disebut Kampung Babakanraden. Yang ikut tinggal di Kampung Babakanraden tidak hanya Embah Raden Suryadipati dan ketiga anak buahnya saja, tetapi masih banyak yang lainnya juga antara lain, Embah Embos, Embah Saribin, Embah Saingin, dan yang lainnya.
Pada Tahun 1633, Embah Raden Suryadipati memimpin wilayah Cariu, yang batas-batas wilayahnya yaitu: 


Sebelah Barat berbatasan dengan Sungai Ciomas
Sebelah Utara berbatasan dengan Tegalkihiyang
Sebelah Timur berbatasan dengan Sungai Ciporong
Sebelah Selatan berbatasan dengan Girijaya

Jadi, pada saat itu Cariu masuk wilayah Dalem Karawang. Saat itu Cariu disebut daerah Cutak, yang sekarang disebut Kecamatan. Karena yang memerintahkan untuk membuka daerah kepada Embah Raden SUryadipati adalah Raden SIngaperbngsa maka hari JADI CARIU JATUH PADA TANGGAL 14 SEPTEMBER, yang mana tanggal tersebut adalah tangal dinobatkannya Raden SIngaperbangsa sebagai Dalem Karawang yang bergelar Adipati Kertabumi IV.

Yang pertama kali menjadi Cutaknya (Camat) adalah Embah Raden Suryadipati. Setelah Embah Raden Suryadipati wafat, yang melanjutkan memimpin Cariu adalah Putra dari Embah Raden Suryadipati yang bernama Raden Purbawijaya. Embah Raden Purbawijaya masih bertempat tinggal di Babakanraden, karena Kantor Cutak (Kecamatan) berada di Babakanraden.
Ketika Embah Raden Purbawijaya memimpin wilayah Cariu ada perubahan Pemerintahan, yaitu Indonesia seluruhnya dijajah oleh Belanda. Termasuk wilayah Tatar Sunda, semua Dalem-Dalem di Tatar Sunda tunduk kepada Belanda sehingga penyebutan istilah pemimpin menjadi berganti, contohnya:
• Dalem disebut Bupati
• Demang disebut Wedana
• Cutak disebut Asisten atau Camat


Pemerintah Belanda menugaskan Tuan-tuan Tanah untuk memungut pajak di tiap-tiap Kabupaten, serta Pemerintah Belanda mengadakan perubahan-perubahan dalam penentuan batas-batas daerah. Oleh karena itu, wilayah Cariu oleh Tuan Tanah Bogor (Belanda) dicabut dari Bupati Karawang kemudian dimasukkan ke Bupati Bogor. Yang batas-batas wilayahnya sama dengan sebelumnya, hanya saja sebelah Barat Sungai Ciomas oleh Belanda namanya diganti menjadi Sungai Cihoe, sebelah Timur Sungai Ciporong oleh Belanda namanya diganti menjadi Sungai Ciomas. Kantor Kecamatan juga dipindahkan ke Kampung Cariu.


Ketika Embah Raden Purbawijaya masih menjadi Camat di Cariu, ada kejadian pertarungan memperebutkan wilayah kekuasaan antara Embah Radiem dengan Raden Mendo. Tempat pertarungan mereka sekarang ini dikenal Kampung Tegal Maung (Wilayah Desa Weninggalih Kecamatan Jonggol).
Pertarungan diantara mereka sudah dilakukan sampai satu minggu lamanya dan tidak ada yang kalah karena sama-sama sakti. Kemudian datang Embah Lajiah dan Embah Nur kahfi untuk membantu Embah Radiem dalam bertarung. Embah Lajiah dan Embah Radiem memberikan pangkal Haur Cucuk (Bambu Ampel) kepada Embah Nur Kahfi untuk dijadikan senjata guna mengalahkan Raden Mendo. Akhirnya dengan menggunakan senjata tersebut, Raden Mendo tewas. Tewasnya Raden Mendo terdengar oleh Renhaat Rehendshaf Baitenshard (Pemerintah Belanda di Bogor) dan kemudian ketiganya menjadi buronan Belanda.


Pada suatu waktu, Embah Nur Kahfi, Embah Lajiah, dan Embah Radiem tertangkap oleh Belanda dan ketiganya disidangkan dengan vonis hukum gantung. Sebelum hukum gantung dilaksanakan Embah Nur Kahfi meminta kepada Belanda ingin menyuburkan daerah Cariu semata-mata untuk memakmurkan anak dan cucu serta keturunannya dengan membuat sungai dari daerah Jangkar sampai dengan daerah Babakanraden. Pihak Belanda menyetujui dan bahkan akan membayar satu gayung dari setiap air yang mengalir dengan Satu Ringgit Emas dan membebaskan hukuman gantung dari ketiganya, dengan syarat harus selesai dalam waktu satu malam.


Pada suatu malam yang sudah ditentukan, Embah Nur Kahfi berdo’a kepada Allah SWT dengan kekuatan batin dan spiritualnya agar dapat menyelesaikan sungai tersebut tepat dalam satu malam. Alhamdulillah, besoknya sungai tersebut dapat terselesaikan tepat pada waktunya walaupun ukurannya kecil. Kemudian, Embah Purbawijaya sebagai Camat melaporkan kepada Belanda yang ada di Bogor. Tuan Residen Belanda berterima kasih kepada Embah Nur Kahfi, Embah Lajiah, serta Embah Radiem dan memberikan hadiah kepada ketiganya dengan membebaskan dari hukuman gantung dan membayar air satu gayung Satu Ringgit Emas. Jadi, yang dibayar hanya satu gayung saja.


Setelah Embah Raden Purbawijaya tidak lagi memerintah dan kembali ke Karawang, Jabatan Camat tidak turun kepada putranya, tapi berdasarkan penunjukan Belanda.
Setelah Belanda melaksanakan Politik Etika (Balas Budi), daerah Cariu mulai dibangun sarana jalan dan sarana pengairan. Sungai yang dibangun dari Jangkar sampai ke Babakanraden pun diperlebar dengan memperkerjakan masyarakat setempat yang diberi upah oleh Belanda dengan garam satu gandu. Yang memimpin kerja baktinya Kepala Desa Cariu, saat itu yang menjabat sebagai Kepala Desa Cariu adalah Embah Asmari. Karena pada saat itu Belanda sering disebut Kompeni oleh masyarakat pribumi, maka sungai yang diperlebar itu disebut dengan Sungai Cikumpeni.
Setelah itu Belanda mengadakan Sekolah Rakyat, satu Kecamatan satu Sekolah, itupun hanya sampai Kelas 3 (tiga). Kelas 4 (empat) sampai Kelas 6 (enam) harus ke Cibarusah. Setelah Indonesia merdeka pada Tahun 1945, Sekolah Rakyat menjadi dua, yaitu di Cariu dan di Pasir Tanjung. Terdiri dari Kelas 1 (satu) sampai dengan Kelas 6 (enam).

Catatan :
1. Riwayat ini berdasarkan cerita H. Djuhadi K. yang bersumber dari Bapa Anda Suhanda bin Adih;
2. Diceritakan kembali oleh Abah Halim (Babakan Kaum), yang bersumber dari :
     a. Amil Syarif dan Ki Umar (Cadasmalang) 

     b. Embah Iran (Ayah dari Amil Syarief)
     c. H. Tajudin (Kades Babakanraden periode 1955-1982)
     d. Ki Paung (Ayah dari H. Adih)
     e. Embah Saki (Ayah dari Ki Paung)
     f. Amil Adin (Anak Amil Pe’i)



Bagikan :